☔ Berharap Hanya Kepada Allah Bukan Manusia
SementaraMusa adalah Naqib-nya para Naqib, Nabi terbesar yang ditunjuk memimpin Bani Israil, seorang Rasul yang berbicara langsung dengan Allah, mengemban risalah Taurat, dan bahkan masuk dalam jajaran istimewa Rasul Ulul 'Azmi bersama Nuh, Ibrahim, 'Isa, dan Muhammad. Maka Musa jauh lebih utama daripada Khidzir. "Hai Musa, sesungguhnya Aku telah melebihkan engkau dari antara manusia, untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara secara langsung denganKu." (Al A'raaf 144) Ketiga
Allah SWT menjanjikan solusi kepada manusia-manusia yang terperangkap oleh permasalahan hidup. Bukan cuma itu, Allah SWT juga yang berkuasa untuk membuka pintu-pintu kemudahan bagi mereka yang kesulitan. Pengalaman hidup banyak mengajarkan bahwa berharap dari makhluk hanya akan menjatuhkan kehormatan dan mendatangkan kehinaan. Berharap dan
Pertama-tama kali, dengan menerima Yesus Kristus melalui iman kita menjadi anak-anak Allah. Kedua, sekali kita menjadi anak-anak Allah yang sungguh-sungguh dan mengijinkan Dia untuk mengarahkan hidup kita, maka perbuatan-perbuatan yang baik (perbuatan- perbuatan keKristenan) akan mengikuti dengan sendirinya. Perbuatan- perbuatan baik muncul dan
Janganlah Bersedih. Kehidupan ini tak selamanya indah. Senang dan duka datang silih berganti. Hal ini semakin memantapkan hati untuk menilai kehidupan dunia ini adalah semu. Kebahagiaannya semu. Kesedihannya semu. Ada kehidupan selanjutnya di hadapan kita. Itulah negeri akhirat. Abadi dan hakiki.
Tetapi pada akhirnya, kehidupan yang berpusat pada diri, merupakan kehancuran yang bukan hanya memisahkan kita dari sesama. Tetapi juga memisahkan kita dari kemuliaan Allah. Baca Juga: Renungan Yoel 2:12-17. Saya rasa, mungkin para motivator akan memberikan arahan kepada anda, perkatakanlah hal-hal yang positif, maka kehidupanmu akan semakin
Baik itu harapan terhadap keluarga, teman, pasangan, ataupun rekan kerja, kita berharap mereka akan melakukan sesuatu yang sesuai dengan yang kita inginkan. Namun, penting untuk diingat bahwa manusia memiliki keterbatasan dan ketidaksempurnaan. Berikut ini beberapa alasan mengapa kita tidak boleh terlalu bergantung dan berharap kepada manusia. 1.
Maka berharaplah hanya pada Allah. Lakukanlah saja untuk Allah. Rasakanlah saja bahwa Allah tidak pernah meninggalkanmu. Meski banyak sekali perilaku kita yang menyakiti Allah, namun Allah masih memberikan kesempatan kepada kita untuk mau mengakui kesalahan dan tidak mengulanginya lagi pada kehidupan kita. Allah maha tahu apa yang terjadi pada
Kaliangimana kabarnya? Semoga selalu dalam lindungan Allah ya. Oke, jadi kali ini aku mau sedikit cerita tentang berharap hanya kepada Allah. Sulit memang, ketika kita memutuskan tidak bergantung apalagi berharap selain kepada Sang Pencipta tapi percaya deh setelah kita tidak menaruh ekspektasi ke manusia semuanya jadi lebih tenang.
kepada seluruh manusia, Allah swt memberikan petunjuk dan aturan main untuk mendapatkan kebahagian itu, kemudian melalui rasu-rasul- Nya petunjuk itu diberikan.
Berikut ini adalah kata-kata terlalu berharap yang penuh makna. 1. "Apa pun yang kamu terima adalah buah dari upaya yang kamu lakukan. Jangan berharap lebih jika kamu tak berupaya lebih." 2. "Beberapa orang ingin suatu hal terjadi, beberapa orang berharap suatu hal terjadi, yang lainnya membuat itu terjadi.
REFLEKSI ALKITAB,MINGGU 11 APRIL 2021 : HIDUP YANG BERHARAP KEPADA ALLAH. "Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang sebab dari pada Nyalah harapanku" (Mazmur 62: 6). Harapan, pengharapan adalah milik manusia yang paling penting dan berharga. Harapan adalah sebuah kekuatan, sebuah power yang memungkinkan manusia melangkahkan kakinya menyusuri
1) Kita mempunyai pengharapan dalam kasih karunia dan pembebasan Allah dari penderitaan yang kita alami dalam kehidupan sekarang ( Mazm 33:18-19; 42:2-6; 71:1-5,13-14; Yer 17:17-18 ). 2) Kita mempunyai pengharapan bahwa saatnya akan datang ketika semua penderitaan kita di bumi akhirnya akan berlalu, ketika bumi tidak lagi tunduk kepada
qINH5. Oleh Salim A Fillah aku percayamaka aku akan melihat keajaibaniman adalah mata yang terbukamendahului datangnya cahaya“Aku”.Jawaban Musa itu terkesan tak tawadhu’. Ketika seorang di antara Bani Israil bertanya siapakah yang paling alim di muka bumi, Musa menjawab, “Aku”. Tapi oleh sebab jawaban inilah di Surat Al Kahfi membentang 23 ayat, mengisahkan pelajaran yang harus dijalani Musa kemudian. Uniknya di dalam senarai ayat-ayat itu terselip satu lagi kalimat Musa yang tak tawadhu’. “Kau akan mendapatiku, insyaallah, sebagai seorang yang sabar.” Ini ada di ayat yang keenampuluh mana letak angkuhnya? Bandingkan struktur bahasa Musa, begitu para musfassir mencatat, dengan kalimat Isma’il putra Nabi Ibrahim. Saat mengungkapkan pendapatnya pada sang ayah jikakah dia akan disembelih, Isma’il berkata, “Engkau akan mendapatiku, insyaallah, termasuk orang-orang yang sabar.”Tampak bahwa Isma’il memandang dirinya sebagai bagian kecil dari orang-orang yang dikarunia kesabaran. Tapi Musa, menjanjikan kesabaran atas nama pribadinya. Dan sayangnya lagi, dalam kisahnya di Surat Al Kahfi, ia tak sesabar itu. Musa kesulitan untuk bersabar seperti yang ia janjikan. Sekira duapuluh abad kemudian, dalam rekaman Al Bukhari dan Muslim, Muhammad Shallallaahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang kisah perjalanan itu, “Andai Musa lebih bersabar, mungkin kita akan mendapat lebih banyak pelajaran.”Wallaahu A’lam. Mungkin memang seharusnya begitulah karakter Musa, Alaihis Salaam. Kurang tawadhu’ dan tak begitu penyabar. Sebab, yang dihadapinya adalah orang yang paling angkuh dan menindas di muka bumi. Bahkan mungkin sepanjang sejarah. Namanya Fir’aun. Sangat tidak sesuai menghadapi orang seperti Fir’aun dengan kerendahan hati dan kesabaran selautan. Maka Musa adalah Musa. Seorang yang Allah pilih untuk menjadi utusannya bagi Fir’aun yang sombong berlimpah justa. Dan sekaligus, memimpin Bani Israil yang keras itu, setelah ucapannya yang jumawa, Musa menerima perintah untuk berjalan mencari titik pertemuan dua lautan. Musa berangkat dikawani Yusya ibn Nun yang kelak menggantikannya memimpin trah Ya’qub. Suatu waktu, Yusya melihat lauk ikan yang mereka kemas dalam bekal meloncat mencari jalan kembali ke lautan. Awalnya, Yusya lupa memberitahu Musa. Mereka baru kembali ke tempat itu setelah Musa menanyakan bekal akibat deraan letih dan lapar yang menggeliang dalam sanalah mereka bertemu dengan seseorang yang Allah sebut sebagai, “Hamba di antara hamba-hamba Kami yang kamu anugerahi rahmat dari arsa Kami, dan Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” Padanyalah Musa berguru. Memohon diajar sebagian dari apa yang telah Allah fahamkan kepada Sang Guru. Nama Sang Guru tak pernah tersebut dalam Al Quran. Dari hadits dan tafsir lah kita berkenalan dengan telah akrab dengan kisah ini. Ada kontrak belajar di antara keduanya. “Engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar. Dan aku takkan mendurhakaimu dalam perkara apapun!”, janji Musa. “Jangan kau bertanya sebelum dijelaskan kepadamu”, pesan Khidzir. Dan dalam perjalanan menyejarah itu, Musa tak mampu menahan derasnya tanya dan keberatan atas tiga perilaku Khidzir. Perusakan perahu, pembunuhan seorang pemuda, dan penolakan atas permohonan jamuan yang berakhir dengan kerja berat menegakkan dinding yang nyaris minta kita belajar banyak dari kisah-kisah itu. Kita belajar bahwa dalam hidup ini, pilihan-pilihan tak selalu mudah. Sementara kita harus tetap memilih. Seperti para nelayan pemilik kapal. Kapal yang bagus akan direbut raja zhalim. Tapi sedikit cacat justru menyelamatkannya. Sesuatu yang sempurna’ terkadang mengundang bahaya. Justru saat tak utuh, suatu milik tetap bisa kita rengkuh. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh.. Apa yang tak bisa didapatkan sepenuhnya, jangan ditinggalkan semuanya.”Kita juga belajar bahwa membunuh’ bibit kerusakan ketika dia baru berkecambah adalah pilihan bijaksana. Dalam beberapa hal seringkali ada manfaat diraih sekaligus kerusakan yang meniscaya. Padanya, sebuah tindakan didahulukan untuk mencegah bahaya. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih.. Mencegah kerusakan didahulukan atas meraih kemashlahatan.”Dan dari Khidzir kita belajar untuk ikhlas. Untuk tak selalu menghubungkan kebaikan yang kita lakukan, dengan hajat-hajat diri yang sifatnya sesaat. Untuk selalu mengingat urusan kita dengan Allah, dan biarkanlah tiap diri bertanggungjawab padaNya. Selalu kita ingat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sultan yang dimakan fitnah memenjarakan dan menyiksanya. Tapi ketika bayang-bayang kehancuran menderak dari Timur, justru Ibnu Taimiyah yang dipanggil Sultan untuk maju memimpin ke garis depan. Berdarah-darah ia hadapi air bah serbuan Tartar yang bagai awan gelap mendahului fajar hendak menyapu musuh terhalau, penjara kota dan siksa menantinya kembali. Saat ditanya mengapa rela, ia berkata, “Adapun urusanku adalah berjihad untuk kehormatan agama Allah serta kaum muslimin. Dan kezhaliman Sultan adalah urusannya dengan Allah.”Iman dan Keajaiban yang MengejutkanSubhanallah, alangkah lebih banyak lagi ibrah yang bisa digali dari kisah Musa dan Khidzir. Berlapis-lapis. Ratusan. Lebih. Tapi mari sejenak berhenti di sini. Mari picingkan mata hati ke arah kisah. Mari seksamai cerita ini dari langkah tertatih kita di jalan cinta para pejuang. Mari bertanya pada jiwa, di jalan cinta para pejuang siapakah yang lebih dekat ke hati untuk diteladani?Musa. Bukan Karena di akhir kisah Sang Guru mengaku, “Wa maa fa’altuhuu min amrii.. Apa yang aku lakukan bukanlah perkaraku, bukanlah keinginanku.” Khidzir hanyalah’ guru yang dihadirkan Allah untuk Musa di penggal kecil kehidupannya. Kepada Khidzir, Allah berikan semua pemahaman secara utuh dan lengkap tentang jalinan pelajaran yang harus ia uraikan pada Rasul agung pilihanNya, Musa Alaihis Salaam. Begitu lengkapnya petunjuk operasional dalam tiap tindakan Khidzir itu menjadikannya sekedar sebagai operator lapangan’ yang mirip malaikat. Segala yang ia lakukan bukanlah perkaranya. Bukan orang yang menyebut diri Sufi mengklaim, inilah Khidzir yang lebih utama daripada Musa. Khidzir menguasai ilmu hakikat sedang Musa baru sampai di taraf syari’at. Maka seorang yang telah disingkapkan baginya hakikat, seperti Khidzir, terbebas dari aturan-aturan syari’at. Apa yang terlintas di hati menjadi sumber hukum yang dengannya mereka menghalalkan dan mengharamkan. Ia boleh merusak milik orang. Ia boleh membunuh. Ia melakukan hal-hal yang dalam tafsir orang awwam menyimpang, dan dalam pandangan syari’at merupakan sebuah pelanggaran Al Qurthubi sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Barii, membantah tafsar-tafsir ini. Pertama, tidak ada tindakan Khidzir yang menyalahi syari’at. Telah kita baca awal-awal bahwa semua tindakannya pun kelak bersesuaian dengan kaidah fiqh. Bahkan dalam soal membunuh pun, Khidzir tidak melanggar syari’at karena ia diberi ilmu oleh Allah untuk mencegah kemunkaran dengan tangannya. Alangkah jauh tugas mulia Khidzir dengan apa yang dilakukan para Sufi nyleneh semisal meminum khamr, lalu pengikutnya berkata, “Begitu masuk mulut, khamr-nya berubah menjadi air!”Tidak sama!Kedua, setinggi-tinggi derajat Khidzir menurut jumhur ulama adalah Nabi di antara Nabi-nabi Bani Israil. Sementara Musa adalah Naqib-nya para Naqib, Nabi terbesar yang ditunjuk memimpin Bani Israil, seorang Rasul yang berbicara langsung dengan Allah, mengemban risalah Taurat, dan bahkan masuk dalam jajaran istimewa Rasul Ulul Azmi bersama Nuh, Ibrahim, Isa, dan Musa jauh lebih utama daripada Khidzir.“Hai Musa, sesungguhnya Aku telah melebihkan engkau dari antara manusia, untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara secara langsung denganKu.” Al A’raaf 144Ketiga, Allah memerintahkan kita meneladani para Rasul yang kisah mereka dalam Al Quran ditujukan untuk menguatkan jiwa kita dalam meniti jalan cinta para pejuang. Para Rasul itu, utamanya Rasul-rasul Ulul Azmi menjadi mungkin kita teladani karena mereka memiliki sifat-sifat manusiawi. Mereka tak seperti malaikat. Juga bukan manusia setengah dewa. Mereka bertindak melakukan tugas-tugas yang luar biasa beratnya dalam keterbatasannya sebagai seorang keagungan para Rasul itu terletak pada kemampuan mereka menyikapi perintah yang belum tersingkap hikmahnya dengan iman. Dengan iman. Dengan iman. Berbeda dengan Khidzir yang diberitahu skenario dari awal hingga akhir atas apa yang harus dia lakukan –ketika mengajar Musa-, para Rasul seringkali tak tahu apa yang akan mereka hadapi atau terima sesudah perintah dijalani. Mereka tak pernah tahu apa yang menanti di mereka tahu hanyalah, bahwa Allah bersama mereka. BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini
Web server is down Error code 521 2023-06-13 170908 UTC What happened? The web server is not returning a connection. As a result, the web page is not displaying. What can I do? If you are a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you are the owner of this website Contact your hosting provider letting them know your web server is not responding. Additional troubleshooting information. Cloudflare Ray ID 7d6bf0874a8a0be5 • Your IP • Performance & security by Cloudflare
KHUTBAH JUMAT Hanya Berharap Kepada Allah الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَنْعَمَ عَلَيْنَا بِالْأَمْوَالِ، وَأَبَاحَ لَنَا التَّكَسُّبَ بِهَا عَنْ طَرِيْقِ حَلاَلٍ، وَشَرَعَ لَنَا تَصْرِيْفَهَا فِيْمَا يُرْضِيْ الْكَبِيْرَ الْمُتَعَالَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ذُو الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَكْرَمُ النَّاسِ فِيْ بَذْلِ الدُّنْيَا عَلَى الْإِسْلاَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا، أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالىَ وَأَدُّوْا مَا أَوْجَبَ اللهُ عَلَيْكُمْ فِيْ أَمْوَلِكُمْ Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Kita bersyukur kepada Allah yang masih memberikan iman dan islam di dalam jiwa dan raga. Dua karunia sebagai bekal Sentosa di dunia dan alam setelahnya. Allah juga masih memberi kita nikmat aman menjalankan syariat agama. Menunaikan shalat tanpa todongan senjata, membaca quran dan mengagungkan syiar islam tanpa takut hilang nyawa. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, para shahabat dan orang-orang yang mengikuti sunah Rasulullah hingga hari kiamat. Tak lupa khatib mewasiatkan takwa kepada diri khatib pribadi dan kepada jamaah semua, lantaran takwa menjadi bekal terbaik untuk menghadap sang pencipta. Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Istilah fakir, sering diidentikkan dengan orang yang tidak memiliki harta yang cukup untuk kelangsungan hidup secara layak. Karenanya, dalam aturan fikih orang fakir berhak menerima zakat. Inilah satu makna dari fakir, tidak memiliki harta yang bisa menutupi kebutuhan hidupnya. Namun makna kefakiran yang lebih umum adalah ibaaratun an faqdi maa huwa muhtaajun ilaihi’, ungkapan terhadap ketiadaan sesuatu yang dibutuhkan, seperti yang dijelaskan al-Ghazali dalam Ihya’-nya. Dari sudut pandang ini, seseorang cukup dikatakan fakir ketika masih ada kebutuhan atau keperluan yang belum bisa ia dapatkan. Maka tidak diragukan lagi, bahwa segala yang ada selain Allah Ta’ala adalah fakir. Firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ [فاطر/15] “Wahai manusia, kamulah yang fakir kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya tidak memerlukan sesuatu lagi Maha Terpuji.” QS. Faathir 15 Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Sisi kefakiran manusia bisa dibilang nyaris atau bahkan tak terhingga, karena hajat keperluan manusia memang tak ada hingganya. Selalu ada tuntutan kebutuhan yang ingin diraihnya, sebagai apapun dan kapanpun ia berada. Yang sakit butuh sembuh, yang sehat ingin berkarya. Yang miskin ingin kaya, yang kaya ingin wibawa. Karyawan butuh pekerjaan, pengusaha pun butuh karyawan. Rakyat mengharap bantuan pejabat, pejabat juga butuh dukungan rakyat. Yang bujang ingin menikah, yang menikah ingin memiliki anak, yang memiliki anak ingin juga agar anak bisa berbakti kepadanya. Dan begitulah, setiap manusia memiliki sisi kefakiran, selalu ada kebutuhan yang ingin diraihnya. Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Karena fakirnya manusia, maka tatkala manusia membantu orang lainpun, sebenarnya ia lakukan demi membantu dirinya sendiri. Karena tak ada bantuan tanpa pamrih, tak ada pertolongan yang murni tanpa tendensi. Dengan kata lain, ketika sesorang berbuat baik kepada orang lain, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung sejatinya kebaikan itu hanyalah jembatan yang ia gunakan untuk membantu dirinya sendiri mendapatkan apa yang ia butuhkan. Yang membedakan manusia dari sisi ini hanyalah jenis tendensi yang dmiliki dan lebih khusus lagi, kepada siapa harapan itu ditujukan. Ada seseorang yang berbuat baik kepada orang lain, tapi tujuan ia membantu karena ingin mendapat sesuatu yang sama atau lebih dari orang yang dibantunya. Seandainya tak ada gambaran keuntungan yang bisa diharapkan dari orang yang hendak dibantunya, niscaya ia tidak akan membantunya. Seperti membantu tetangga dalam penyelenggaraan resepsi agar kelak tetangga membantunya pula saat ia menyelenggarakan resepsi. Memberi kado pernikahan agar saat dia menikah juga mendapat kado balasan. Atau mengulurkan bantuan kepada orang lain agar yang dibantu bisa memberikan peluang pekerjaan, dan masih banyak lagi kasus yang lain. Singkatnya, sebenarnya ia yang membutuhkan bantuan, lalu dia membantu orang lain agar kebutuhnnya terpenuhi. Balasan yang diharapkan, tak selalu berupa materi. Karena ada orang-orang yang sudah berkecukupan secara materi, tapi masih membutuhkan ucapan terimakasih, butuh pengakuan, penghormatan, penokohan atau hanya sekedar kalimat pujian. Seandainya bantuannya tidak membuahkan apa yang mereka kehendaki, niscaya akan ada keluhan dan penyesalan. “Si fulan tidak tahu terimakasih…air susu dibalas air tuba…kacang lupa kulitnya,” dan banyak lagi keluhan senada dilontarkan. Dan selagi seseorang membantu orang lain agar orang lain membantunya, dia harus bersiap-siap untuk kecewa. Karena manusia banyak lupa akan jasa orang lain terhadapnya. Dan sebagian lagi tidak menganggap istimewa bantuan kita, dan yang lain memang tidak pandai berterimakasih. Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Yang paling istimewa adalah orang yang membantu orang lain, namun dia berharap gantinya kepada Allah. Tak masalah baginya membantu orang yang sudah dikenal atau belum dikenalnya, ada potensi balas budi atau tidak, baginya tidak menjadi soal, karena bukan balasan dari mereka yang diharapkan, tapi balasan dari Allah. Seperti perkataan al-abraar’ orang-orang yang berbakti dalam firman-Nya, إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.” QS. al-Insan 9 Dia tidak menjadi sedih lantaran kebaikannya tak dibalas secara layak, tidak disambut dengan ucapan terimakasih, atau bahkan mendapat perlakuan yang sebaliknya. Karena memang bukan dari mereka balasan diharapkan. Mereka yakin, Allah tidak melupakan kebaikannya, akan menghargai usahanya dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik, dan Allah tidak pernah salah dalam mengkalkulasi kebaikan pelakunya. Dan hanya Allah yang bisa membalas kebaikan dengan sempurna, bagi orang yang memang berharap kepada-Nya. Firman Allah Ta’ala, وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ ﴿٢٧٢﴾ “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya dirugikan.” QS. al-Baqarah 272 Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Begitu dalamnya penghayatan seorang ulama tabi’in Rabi’ bin Khutsaim dalam persoalan ini. Hingga di saat sakit, ia memberikan roti kesukaannya kepada seorang pengemis tua yang tampak kurang waras. Hingga anaknya berkata, “Semoga Allah merahmati ayah, ibu telah bersusah payah membuatkan roti istimewa untuk ayah, kami sangat berharap agar ayah mau menyantapnya, namun tiba-tiba ayah berikan roti itu kepada orang linglung yang tidak tahu apa yang sedang dimakannya.” Beliau menjawab dengan bijak, “Wahai putraku, kalaupun ia tidak tahu apa yang dimakannya, maka sesungguhnya Allah Maha Tahu.” Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Begitulah, semua manusia memang fakir, akan tetapi hendaknya kefakiran kita tertuju kepada Allah, bukan kepada makhluk yang sama-sama fakir. Ya Allah, rahmat-Mu senantiasa kami harapkan, maka janganlah Engkau serahkan nasib kami kepada kami sendiri meskipun sekejap mata. Perbaikilah urusan kami seluruhnya, tiada ilah yang haq kecuali Engkau. Aamiin. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ KHUTBAH KEDUA إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَعَلَىخُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ وَطَرِيْقَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ اللهم اغفِرْ لِلْمُسْلِمينَ وَالمْسُلْماتِ والمؤمنينَ والمؤمناتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُم واَلأَمْوَاتِ اللهمَّ انْصُرْ جُيُوسَ المُسْلِمِيْنَ وَعَسَاكِرَ المُوَحِّدِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَ الدِّينِ وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إلي يَوْمِ الدِّينِ اللهُمَّ انْصُرْ دُعَاتَنَا وَعُلَمَائنَاَ المَظْلوُمِيْنَ تَحْتَ وَطْأَةِ الظالِمِين وَفِتْنَةِ الفَاسِقِينَ وَحِقْدِ الحَاقِدِيْنَ وَبُغْضِ الحَاسِدِين وَخِيَانَةِ المُنَافِقِيْنَ اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا ، وَأَبْصَارِنَا ، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَلا مَبْلَغَ عِلْمِنَا ، وَلا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لا يَرْحَمُنَا رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلي خَيْرِ خَلْقِكَ وَأَفْضَلِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلي آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالمَين
berharap hanya kepada allah bukan manusia